Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan Plato dilahirkan dan berasal dari keluarga apa, hanya banyak yang meyakini bahwa Plato dilahirkan dari kalangan Aristokrat Athena sekitar tahun 427 SM. Plato
adalah salah satu murid Socrates yang paling dekat dengan sang guru.
Ketika gurunya dihukum mati oleh pengadilan negara pada 399 SM, pelaksanaan hukum mati tersebut membuat Plato benci kepada pemerintahan demokratis.
Kematian gurunya membuat Plato enggan bergelut di dunia politik,
padahal sebagai keturunan aristokrat bukanlah hal yang sulit untuk
bergelut di dunia politik. Plato lebih memilih jalan hidup layaknya sang
guru, yakni menjadi Filosof.
Bagi Plato, Socrates adalah “orang terbijaksana, terjujur, terbaik dari semua manusia yang saya pernah kenal”. Maka tak heran jika pemikiran
Plato banyak yang terpengaruh oleh Socrates, dan salah satunya adalah
mengenai Ide. Pandangan Plato mengenai Ide sangat berbeda dengan
pemahaman ide pada saat ini, yakni ;
Menurut Plato ide tidak diciptakan oleh
pemikiran manusia. Ide tidak tergantung pada pemikiran manusia,
melainkan pikiran manusia yang tergantung pada ide. Ide
adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial, abadi, dan
tidak berubah. Ide sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran kita.
Ide-ide ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Misalnya, ide
tentang dua buah lukisan tidak dapat terlepas dari ide dua, ide dua itu
sendiri tidak dapat terpisah dengan ide genap. Namun, pada akhirnya
terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan ide-ide tersebut.
Puncak inilah yang disebut ide yang “indah”. Ide ini melampaui segala
ide yang ada.
Masa muda Plato terjadi ketika Athena mengalami
masa kemunduran, hal ini dikarenakan adanya perang besar saat itu yang
melibatkan Athena dengan Sparta yakni perang Peloponnesos (431-403 SM).
Mundurnya Athena dan meninggalnya Socrates, akhirnya membut Plato
memutuskan untuk berkelana meninggalkan Athena. Dia berkelana dari
Sicilia dan Italia, bahkan kabarnya dia berkelana hingga Afirka, Mesir
dan beberapa negara di Timur Tengah. Kabarnya Plato berkelana selama 10-12 tahun, dan setelah itu kembali lagi ke Athena.
Sekitar tahun 387 SM dia kembali ke Athena, mendirikan perguruan di sana, sebuah akademi yang berjalan lebih dari 900 tahun. Akademi yang dia beri nama Academica itu
tidak sekedar untuk pengembangan ilmu pengetahuan, lebih dari itu
diharapkan menjadi pabrik pembentukan dan penempa orang-orang yang dapat
membawa perubahan bagi Yunani. Lembaga pendidikan ini diharapkan dapat
membentuk manusia yang berpengetahuan yang didapatkan dengan cara apapun
dan dilakukan atas nama negara dalam rangka mencapai kebajikan.
Di lembaga pendidikan ini pula yang mempertemukan Plato dengan muridnya
yang kelak menjadi Filosof layaknya dia, yakni Aristoteles. Pada waktu
itu usia Aristoteles adalah 17 tahun dan Plato 60 tahun. Namun sayang
perjumpaanyaan dengan sang murid tidak berlangsung lama, karena 10 tahun
kemudian Plato wafat, dan beberapa sumber mengatakan bahwa Plato
meninggal dalam keadaan menulis (menulis merupakan kegemaran Plato).
Plato menulis tak kurang dari tiga puluh enam buku, kebanyakan
menyangkut masalah politik dan etika selain metafisika dan teologi,
karya-karya plato yang paling tersohor adalah Republica (Republik), Dialogue (Dialog), Statesman (Negarawan), dan Apologia (Pembelaan).
Plato juga berbicara mengenai keadilan, dalam karyanya Politea (republik)
yang arti sebenarnya adalah konstitusi dalam pengertian suatu
jalan/cara bagi individu-individu dalam berhubungan sesamanya dalam
pergaulan hidup masyarakat. Dalam Politea juga bercerita
“tentang keadilan”, keadilan merupakan tema pokok dalam buku tersebut.
Keadilan berarti seseorang membatasi dirinya pada kerja dan tempat dalam
hidup yang sesuai dengan panggilan kecakapan dan kesanggupannya.
Selain berbicara mengenai keadilan, Plato juga
berbicara mengenai negara ideal. Menurutnya, negara ideal menganut
prinsip kebajikan (virtue). Pandangan Plato
mengenai sebuah negara tidak jauh berbeda dengan Socrates, negara yang
baik adalah negara yang berpengetahuan dimana negara tersebut dipimpin
oleh orang yang bijak (the philosopher king). Dimana ciri dari negara
yang bijak itu adalah dipimpin oleh rezim aristokrat. Yang dimaksud
aristokrat di sini bukannya aristokrat yang diukur dari takaran
kualitas, yaitu pemerintah yang digerakkan oleh putera terbaik dan
terbijak dalam negeri itu. Orang-orang ini mesti dipilih bukan lewat
pungutan suara penduduk melainkan lewat proses keputusan bersama.
Orang-orang yang sudah jadi anggota penguasa atau disebut “guardian”
harus menambah orang-orang yang sederajat semata-mata atas dasar
pertimbangan kualitas.
Untuk mewujudkan negara ideal, hanya mungkin
diwujudkan berdasar budi pekerti penduduknya, dan untuk mewujudkan hal
tersebut maka perlu diadakan pendidikan yang diatur sedemikian rupa oleh
negara. Menurut Plato, anak usia 10 tahun ke atasa menjadi urusan
negara. Dasar utama pendidikan anak-anak adalah Gymnastic (senam)
dan musik, selain diberikan pelajaran membaca, menulis dan berhitung.
Senam dianggap dapat menyehatkan badan dan pikiran, maka tak heran tidak
lama kemudian muncul pepatah latin yakni mensana incorpore sanno. Untuk
umur 14-16 tahun anak diajarkan bermain musik, puisi serta mengarang
untuk menanamkan jiwa yang halus, budi yang halus dengan menjauhkan
lagu-lagu yang melemahkan jiwa serta mudah menimbulkan nafsu buruk. Usia
16-18 tahun diberikan pelajaran matematika untuk membimbing jalan
pikiran, selain diajarkan dasar-dasar agama serta adab kesopanan, karena
negara atau bangsa tidak akan kuat jika tidak percaya terhadap Tuhan.
Pada umur 20 tahun diadakan seleksi yang lebih tinggi untuk mengikuti
pendidikan mengenai adanya idea (ide) dan dialektika dan mereka mendapat kesempatan untuk memangku jabatan yang lebih tinggi.
Bagi Plato, kepentingan masyarakat harus lebih
diutamkan daripada kepentingan individu. Dengan demikian akan timbul
rasa kolektivisme atau rasa kebersamaan dariapada sifat individualisme.
Plato merupakan filosof pertama, dan dalam jangka waktu lama nyatanya
memang cuma dia, yang mengusulkan persamaan kesempatan tanpa memandang
kelamin. Mengenai kehidupan sosial, Plato mengemukakan semcam komunisme
yang melarang adanya hak milik dan kehidupan berfamili. Menurutnya,
adanya hak milik akan mengurangi dedikasi dan loyalitas seseorang pada
kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Namun, “komunisme” ala Plato
ini hanya terbatas pada kelas penguasa dan pembantu penguasa saja,
sedangkan kelas pekerja diperbolehkan memilik hak milik primadi dan
berfamili, karena merekalah yang menghidupi kelas lainya dan tugas
mereka adalah untuk menyelenggarakan produksi perekoniomian.
Plato mendasarkan pada prinsip larangan atas
kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk harta, keluarga maupun anak.
Argumentasinya adalah menghindarkan negara dari berbagai pengaruh erosive negara
kota dan destruktif yang pada akhirnya menciptakan disintegrasi negara
kota. Kecemburuan, kesenjangan sosial, dan tiap orang yang berusaha
menumpuk kekayaan serta milik pribadi tanpa batas (dalam bahasanya marx
adalaha capital acumulation), hal ini dapat menimbulkan kompetisi bebas
serta institusionalisasi. Jadi hak milik bersama, kolektivisme atau
komunisme menjadi sebuah gagasan. Sebagai contoh adalah
hak kepemilikan atas anak, seorang ibu tidak bisa memiliki anak
kandungnya karena anak tersebut dipelihara oleh negara dan sang anak
tidak boleh tahu siapa ayah dan ibunya.
Pemikiran Plato sesungguhnya berdasar pada corak
masyarakat saat itu, bukan memaksakan sebuah sistem kepada masyarakat
Athena. Pada saat itu, kesenjangan antara si kaya dan si miskin sangat
mencolok, pertentangan politik pun kian hebat. Sistem pemerintahan tidak
pernah berjalan secara tetap, karena selalu terjadi perubahan dari
aristokrasi, oligarki hingga demokrasi.
Mengenai masyarakat, Plato membagikan masyarakat
menjadi 3 golongan, dan penggolongan ini tidak jauh berbeda dengan apa
yang pernah diutarakan oleh gurunya.
a. Golongan pemertintah atau filsuf
Merupakan orang terpilih yang
paling cakap dari kelas penjaga. Bertugas membuat undang-undang dan
mengawasi pelaksanaanya, juga memperdalam ilmu pengetahuan dengan segala
kebijaksanaannya.
b. Golongan pengusaha
Mereka lebih bergerak dalam bidang perekonomian dan berproduksi namun tidak memerintah.
c. Golongan cerdik pandai
Mereka diberi makan dan dilindungi, serta mereka juga memerintah.
Tentunya masih banyak sekali ide atau pemikiran
Plato yang lainnya. Pemikiran Plato bisa dikatakan menjadi dasar
pemikiran filsafat barat. Bahkan tidak sedikit pula ilmuwan muslim pada
abad pertengahan seperti Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, bahkan hingga
karya Imam Ghazali. Dan semua berlanjut hingga masa renaisans di Eropa,
dan bisa juga perkembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar